Oleh Kyai Budi Hardjono
SEDULURKU TERCINTA,dalam
ungkapan orang Jawa "delok-delok" itu maknanya
"melihat-lihat",sejauh menimbang rasa terhadap
sesuatu.Makanya,melihat itu sarananya bukan sekedar "mata kepala"
tetapi tergantung sasarannya.Melihat warna dengan mata,melihat aroma dengan
hidung,melihat suara dengan telinga,melihat nilai dengan "indra
dalam" itu.Jantera alam ini digelar untuk "delok-delok"
itu,sehingga "delok" bisa dijarwodosoki "ngandel mergo nyawang
barang elok",artinya dibalik mentafakkuri apa yang ada ini akan menetes
"keyakinan" atau "ngandel" terhadap Gusti Allah dibalik
yang maujud ini yang sungguh "elok",wajibul Wujud walau "tan
kinoyo ngopo",laisa kamitslihi syai'un.Gusti Kanjeng Nabi Muhammad saw
sendiri mengabarkan bahwa hidup ini adalah "abirussabil",bagai pelancong
yang "delok-delok" itu,melihat-lihat.Dan ini diterjemahkan oleh orang
Jawa menjadi "mampir ngombe" dalam kemusafirannya.
Dalam
"delok-delok" ada dua hal yang bisa diperoleh,pada satu sisi
menyaksikan hal-hal yang menakjubkan dari berbagai sudut pandang dan cara
pandang,pada sisi yang lain melahirkan "nyeri rindu" karena dahaga
jiwa yang tidak puas atas segala "tanda-tanda" yang tergelar
ini.Rindu kepada Sang Pencipta.Mustinya,orang bila menikmati semua yang ada ini
maka hariannya akan terasa bagai dalam "pelaminan" selalu,yang
disettingi dengan layar dan gambar yang bergerak indah ini,menjadikan setiap
waktu itu baru,tidak pernah mboseni.Namun,bila nyeri rindu ini
"hilang" maka semua yang ada akan dirasa menjadi "belenggu",karena
"keelokan" yang ada terselubungi oleh egosentrisitas pada
diri.Gambarannya bagai ada "awan" dibalik cahaya mentari dan bulan
serta bintang-gemintang.Dalam "kegelapan" maka akan terjadi stagnasi
dalam "kesaksian" atau proses "delok-delok" itu,bagi mata
kepala akan "peteng dhedhet",bagi mata hati tidak akan bisa
"delok-delok" nilai yang lebih indah dibalik yang material ini.Gelap
sebagaimana malam itu tercipta karena bumi "memungggungi" cahaya
matahari,demikianlah gelap hati itu karena manusia "berpaling" atau
memunggungi dari Cahaya Ilahi.
Dengan
demikian,manusia hidup ini sebenarnya "delok-delok" itu,terserah mana
hal-hal yang disukai.Tetapi manusia harus tetap hati-hati karena hal yang
disukai belum tentu berguna bagi diri,sebaliknya hal yang dibenci belum tentu
jelek bagi diri.Di tengah kegelapan memandang yang "misteri"
inilah,Gusti Allah tidak kurang kasih sayangnya kepada manusia,lalu menurunkan
para Nabi dan Rasul itu sebagai "cerminan" atau teladan,sehingga
manusia menemukan "hidayah" dan "sa'adah" dalam
hidupnya.Dibalik itu,pada diri manusia sudah terdapat "bibit" dalam
prosesi "delok-delok" itu,dan bibit itu bersifat "percikan"
cahaya:senang terhadap kegembiraan saudara dan susah akan penderitaan
saudara.Bibit Cinta ini bila dikaitkan dengan petuntuk dari Gusti Allah melalui
para Nabi dan Rasul,bisa diistilahkan "tumbu oleh tutup",klop.Bagi
yang "awam" akan bisa menikmati dengan apa adanya,bagi yang
cerdas:biasanya malah muter-muter secara dialektika walau nanti berujung pada
"kebingungan" dan akan pasrah sebagaimana orang awam itu.Disinilah
pentingnya "aturan" yang dalam keberagamaan disebut
"syari'at",dari sana kita bisa "delok-delok" sesuatu dan
tidak akan salah pilih dalam tindakan,setiap waktu.
Kawan-kawan,setelah "delok-delok" itu tergapai maka
akan muncul "marem" di rasa hingga sampai "merem-merem",dan
di dalam "merem-merem" ini sebenarnya tidak "gelap" karena
ada indra dalam yang "delok-delok",cuma tidak bisa tergambarkan dan
terlukiskan,hanya "merem-merem" itu.Dalam pejaman mata,kita bisa
melihat,delok-delok,,,,Tabik!